LINTAS BLORA, BLORA- Porang (tanaman porang) kini banyak di budidayakan petani di sejumlah daerah. Padahal, dulu tanaman ini banyak diabaikan sebagai tanaman liar di pekarangan rumah.
Di pasar ekspor, umbi porang yang diolah jadi tepung ini banyak dicari. Umbi dari porang yang sering dianggap masyarakat sebagai makanan ular ini, memiliki pasar ekspor seperti Jepang, China, Taiwan, dan Korea.
Lalu apa itu porang? Porang adalah tanaman umbi-umbian dengan nama latin Amorphophallus muelleri. Di beberapa daerah di Jawa, tanaman ini dikenal dengan nama iles-iles. Porang biasanya dimanfaatkan dengan diolah menjadi tepung yang dipakai untuk bahan baku industri untuk kosmetik, pengental, lem, mie ramen, dan campuran makanan.
Dikutip dari data yang dirilis Kementerian Pertanian, jika dijadikan sebagai tanaman budidaya pertanian, keunggulan porang yakni bisa beradaptasi pada berbagai semua jenis tanah dan ketinggian antara 0 sampai 700 mdpl. Tanaman ini juga relatif bisa bertahan di tanah kering.
Umbinya juga bisa didapatkan dengan mudah, sementara tanamanya hanya memperlukan perawatan yang minim. Kelebihan lainnya, porang bisa ditanam dengan tumpang sari karena bisa toleran dengan dengan naungan hingga 60%. Bibitnya biasa digunakan dari potongan umbi batang maupun umbi yang telah memiliki titik tumbuh atau umbi katak (bubil) yang ditanam secara langsung.
Kendati begitu, tanaman ini baru bisa menghasilkan umbi yang baik pada usia di atas satu tahun sehingga masa panennya cukup lama. Harga porang Harga umbi porang segar mencapai Rp 4.000/kg. Lalu harga porang yang sudah diolah dan siap ekspor berkisar Rp 14.000/kg. Negara tujuan ekspornya antara lain Jepang, China, Australia, dan Vietnam.
Yoga adalah salah satu pengepul porang di Desa Nglobo, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora. Harga porang kering yang bagus tidak berjamur di hargai Rp10.000 sampai Rp 13.000 per kilogram. Sedangkan untuk porang yang basah di hargai Rp. 1.000,00 per kilogram.
“Saya pengepul tangan kedua, porang yang sudah dipotong nanti saya jemur sampai kering sekitar 1 minggu,” tegasnya.
Musim hujan yang berlangsung menjadi kendala bagi pembisnis porang kali ini. Karena tidak ada panas matahari terpaksa produksi porang berhenti.
“Karena mengeringkannya masih dengan manual yaitu cahaya matahari sementara bisnis porang ini saya hentikan dulu, takutnya kalo tidak kering jadi berjamur dan busuk,” tegas Yoga. (frst)